Beranda | Artikel
Hukum Tambahan Sayyidina Dalam Shalawat
Senin, 8 April 2019

HUKUM TAMBAHAN SAYYIDINA DALAM SHALAWAT

Pertanyaan:
Assalâmu ‘alaikum
Bagaimana hukum menambah lafaz “Sayyidina dalam Shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal dalam lafazh Shalawat yang diriwayatkan Imam al-Bukhâri dan Muslim tidak terdapat lafazh tersebut?. Syukran.

Jawaban:
Waalaikumussalâm.
Memang ada beberapa lafazh Shalawat yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti yang dapat saudara lihat dalam kitab Shifat Shalât an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Syeikh al-Albani dan semuanya tanpa ada tambahan lafazh Sayyidina.

Diantara Shalawat yang paling shahih dan masyhur adalah dua bentuk lafazh Shalawat yaitu:

Lafazh yang disampaikan dalam hadits Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ؛ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ. اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ؛ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ

lafazh ini dikeluarkan Imam al-Bukhâri no, 3370 dan Muslim no. 406.

Lafazh yang disampaikan dalam hadits Abu Humaid as-Sâ’idi Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وُذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ؛ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ

lafazh ini dikeluarkan juga oleh al-Bukhâri no. 3369 dan Muslim no. 407 .

(lihat Raudhatuth Thâlibin karya an-Nawawi 11/66, Fathul Bâri 11/166 dan shifat shalât an-Nabi hlm 175).

Demikianlah sepatutnya kita bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafazh yang diajarkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung, karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengajarkan kecuali yang bagus dan terbaik.

Al Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah ditanya tentang Shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam shalat atau di luar shalat, baik dikatakan wajib atau sunnah, apakah disyariatkan padanya pensifatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sayyid dengan menyatakan misalnya: (صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ) atau (صَلِّ عَلَى سَيِّدِ وَلَدِ آدَمَ) atau mencukupkan dengan (اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ) ? Mana yang lebih utama, menggunakan lafazh Sayyidina, karena itu adalah sifat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak menggunakannya, karena tidak ada dalam Atsar?.

Beliau (Al- Hâfizh Ibnu Hajar) menjawab : ”Benar, mengikuti lafazh-lafazh (shalawat) yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih rajih. Tidak boleh dikatakan bahwa mungkin Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan lafazh Sayyid karena sifat rendah hati Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana juga tidak disampaikan ketika disebut nama Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Padahal umatnya dianjurkan sekali untuk mengucapkan (shalawat) setiap kali nama Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut. kami berpendapat bahwa seandainya penyebutan “Sayyid itu rajih tentulah ada berita dari para Sahabat kemudian para Tabi’in. Namun kami belum pernah mendapatkan satupun atsar dari seorang Sahabat dan Tabi’in yang menyatakan demikian, padahal banyak sekali (lafazh) shalawat yang diriwayatkan dari mereka. Demikian (juga) Imam asy-Syâfi’i –semoga Allâh Azza wa Jalla mengangkat derajatnya- seorang yang termasuk paling besar pengagungannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis dalam pendahuluan kitabnya yang menjadi sandaran pengikut madzhabnya: (اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ) …”.Sampai akhir kesimpulan ijtihad beliau.

Al-Qâdhi Iyâdh menulis satu bab tentang tata cara bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kitab asy-Syifâ` dan menukilkan beberapa atsar dari sejumlah Sahabat dan Tabi’in, tidak ada seorang Sahabat pun dan selain mereka menggunakan lafazh sayyidina. Tampaknya semua ahli fikih yang menyampaikan masalah Shalawat tidak ada pernyataan seorangpun dari mereka tentang memakai lafazh Sayyidina. Seandainya tambahan ini dianjurkan, tentulah diketahui dan tidak akan mereka lalaikan. (dinukil as-Sakhâwi dalam al-Qaulil Badi’ dan Muhammad bin Muhammad al-Gharâbîli (wafat tahun 835 H ) dan kedua orang ini selalu belajar kepada Ibnu Hajar, sebagaimana hal ini ada dalam salah satu manuskrip yang dibaca Syeikh al-Albâni. (lihat Shifat Shalât an-Nabi hlm 172 dan diambil secara ringkas di sini).

Adapun shalawat kepada Nabi diluar shalat maka sah dengan lafazh apa saja yang menunjukkan shalawat dengan syarat tidak terkandung lafazh yang dilarang syariat, seperti bersikap berlebihan atau lafazh-lafazh yang menempatkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam layaknya kedudukan Allâh Azza wa Jalla .

Lajnah Dâ`imah Lil-Ifta’ (Komisi Tetap Untuk Fatwa Ulama Besar Saudi Arabia dalam fatwanya 24/149) ditanya, “Mana yang lebih benar ketika menyebut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengucapkan shalallâhu ‘ala sayyidina Muhammad wa sallam atau shalallâhu ‘alaihi wa sallam ?.

Mereka menjawab : “Masalah ini longgar, boleh menyebut Muhammad shalallâhu ‘alaihi wa sallam atau shalallâhu ‘ala sayyidina Muhammad wa sallam, karena Beliau adalah sayyid seluruh manusia. Sedangkan dalam shalat, hendaknya mencukupkan yang sudah diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab ibadah dibangun di atas ittiba’ dan mengikuti dalil (at-Tauqîf), sehingga tidak membaca shalawat dalam shalat kecuali yang sudah ada dalam hadits-hadits yang shahih dalam permasalahan tersebut. Seluruhnya tidak ada yang menyebut kata “sayyidina. Demikian juga tidak diriwayatkan dari para Sahabat dan Tabi’in.

Lajnah Dâ’imah Lil-Ifta’ (Komisi Tetap Untuk Fatwa Ulama Besar Saudi Arabia) ditanya, Apakah diperbolehkan ketika kita bicara tentang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Sayyidina Muhammad pada selain yang sudah ada dasarnya seperti Shalawat Ibrâhimiyah atau selainnya?

Mereka menjawab: Shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tasyahud tidak ada –sepengetahuan kami- lafaz Sayyidina. Demikian juga dalam adzan dan iqamah, sehingga tidak (memakai lafazh) Sayyidina dalam hal ini, karena tidak ada contohnya dalam hadits-hadits yang shahih yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada para sahabatnya tentang tata cara bershalawat, azan dan iqamah. Juga karena ibadah adalah tauqifiyah sehingga tidak ditambahkan padanya yang tidak disyariatkan Allâh Azza wa Jalla. Adapun mengucapkan kata “sayyidina” pada selainnya tidak mengapa, berdasarkan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ

Saya adalah sayyid manusia di hari kiamat tanpa kesombongan. [Fatawa Lajnah Dâ`Imah 7/65]

Demikianlah seputar masalah ini semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XXI/1439H/2018M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/11430-hukum-tambahan-sayyidina-dalam-shalawat.html